Monday, February 18, 2013

DULANG GEBOGAN PRADA BALI



UNTUK MEMBUAT SARANA UPAKARA BERUPA GEBOGAN DIPERLUKAN DULANG ATAU WANCI SEBAGAI ALAS UNTUK MENEMPATKAN ATAU MENYUSUN BUAH ATAU KUE DIATASNYA.

ANEKA DULANG  & ASESORISNYA FIBER PRADA BALI


DULANG KOMPLIT 1 SET : 1 DULANG, 5 TUMPUKAN BUAH, TONGKAT & SAABNYA
            HARGA ECERAN  Rp 450.000HARGA GROSIR ONLINE  Rp 400.000

DULANG KOMPLIT 1 SET : 1 DULANG, 5 TUMPUKAN BUAH, TONGKAT & HIASAN KEPET
HARGA ECERAN  Rp 500.000 HARGA GROSIR ONLINE  Rp 450.000




Code : DC : 001
DULANG PRADA  : DIAMETER 32 CM TINGGI  35 CM
Harga Eceran  ( Publish ) Rp  250.000
Harga Online : Rp  225.000


Code : DC- 002
TUMPUKAN SEKAT BUAH  5PCS : DIAMETER 32 CM TINGGI  5 CM
Harga Eceran ( Publish )  Rp  200.000
Harga Online : Rp  170.000


Code DC : 003
SAAB  PRADA UKURAN : DIAMETER   20 Cm
Harga Eceran  Publish Rp  70.000
Harga Online : Rp  50.000



Code : DC : 004
KEPET PRADA ATAU KIPAS ATAS  PRADA UKURAN : DIAMETER   20 Cm
Harga Eceran  ( Publish )  Rp  90.000
Harga Online : Rp  75.000



Code : DC - 005
DULANG PRADA  PRADA UKURAN : DIAMETER  32 Cm  TINGGI : 30 cm
Harga Eceran  Publish  Rp  245.000
Harga Online : Rp  220.000



Code : DC - 006
DULANG PRADA  PRADA UKURAN : DIAMETER  30 Cm  TINGGI : 30 cm
Harga Eceran  Publish  Rp  200.000
Harga Online : Rp  170.000

Code DC : 021
DULANG PRADA  DG KACA UKURAN : DIAMETER  32 Cm  TINGGI : 30 cm
Harga Eceran  Publish Rp  220.000
Harga Online : Rp  170.000


Code : DC - 022- DULANG  KOMBINASI JELI  UKURAN : DIAMETER  32 Cm  TINGGI : 30 cm
Harga Eceran   Publish Rp  220.000
Harga Online : Rp  190.000


Code DC : 023
TUMPUKAN  KOMBINASI KACA  UKURAN : DIAMETER  32 Cm 
Harga Eceran  Publish  Rp  190.000
Harga Online : Rp  160.000


Code : DC 024
TUMPUKAN  KOMBINASI JELI  UKURAN : DIAMETER  32 Cm 
Harga Eceran  Publish  Rp  190.000
Harga Online : Rp  160.000



Code : DC : 025
DULANG    PRADA UKURAN : DIAMETER  26 Cm  TINGGI : 25 cm
Harga Eceran  Publish  Rp  170.000
Harga Online : Rp  145.000



Code : DC : 026
DULANG  BOGEM PRADA UKURAN : DIAMETER  20 Cm  TINGGI : 22 cm
Harga Eceran  Publish Rp  130.000
Harga Online : Rp  100.000


Code : DC : 027  -DULANG  BOGEM PRADA LENGKAP SAAB 1 SET
Harga Eceran  Publish Rp  200.000
Harga Online : Rp  160.000


Code : DC : 028 - SUNAN PRADA
Harga Eceran  Publish  Rp  50.000
Harga Online : Rp  40.000




Contact :  Pak Ganis
Hp  XL : 085935099936 PIN BB : 2983C334
SimPATI    : 082145216399
Email : saranaupakaraonline@gmail.com

YADNYA



Yajna berasal dari akar kata “Yaj” persembahan, pemujaan, pengorbanan. Yajna dalam artian sempit tidaklah semata ritualistik saja tapi didalamnya terkandung nilai kosmis, filosofis, religius dan sosiologis yang dapat menyerap berbagai aspek kehidupan . Yajna suatu pelayanan kehadapan Hyang Widhi secara tulus iklas sebagai momentum bagi umat Hindu untuk bisa intropeksi diri penuh pengabdian dengan melaksanakan kewajibannya sebagai manusia, didalam usaha menemukan hakekat dirinya yang sejati.

Dengan memahami dan menghayati makna dari yajna akan memberi tutunan dan tatanan etika moral spiritual yang dijadikan landasan utama dalam melakoni dan menikmati hidup ini. Sri Krishna berkata pada sahabat pengembala ternaknya di tepi sungai suci yang tenang dan melayani dunia ini dengan setiap bagian dari kehidupannya, mereka menahan keganasan angin, cuaca, panas dan dingin. Mereka terus menerus memberi kita pelayanan tanpa menuntut suatu imbalan apapun, tidak ada binatang yang berteduh disana pergi dengan kekecewaan, dengan daun-daun, keteduhan, buah dan akar, kulit dan dahan-dahanan, kayu dan inti pohonnya semua memperlihatkan pelayanan berulang-ulang tanpa henti.

Untuk itulah umat Hindu dengan kelebihan dan kekurangannya mempunyai kewajiban berpegang teguh pada dharma, dalam menyelami lautan kasih dengan penuh pengabdian disetiap gerak nafas hidupnya.

Mengapa harus beryadnya???
Umat Hindu hendaknya menyadari di dunia ini bukan hanya ciptaan belaka, ia mempunyai tanggung jawab penuh sebagai mahluk Tuhan, sosial dan individual, maka dari itulah hendaknya umat Hindu beryajna dalam artian luas. Lakukanlah sebagai manusia dengan hati yang tulus iklas tanpa pamrih. Mengapa umat Hindu di dunia mempunyai kewajiban untuk beryajna. Gita bersabda bahwa : “Manusia tercipta berkat Yajna”. Dengan demikian Tuhan mengorbankan diri-Nya dalam proses menciptakan manusia, untuk itulah umat Hindu berkewajiban melaksanakan yajna sebagai wujud bhaktinya terhadap anugrah-Nya. Jika umat Hindu menyadari bahwa dirinya ada berkat ciptaan Tuhan, manusia tidak akan menyombongkan dirinya “Nyapa kadi aku” sebagai terlihat pada fenomena dunia sekarang ini. Tuhan kuasa atas dunia ini manusia kadang-kadang ingin menolaknya, tapi tidak bisa mengelak atas kuasa-Nya (Gita III.10).

Disamping itu pula hendaknya umat Hindu memutar cakra yajna seperti yang disebutkan dalam Bhagawadgita “dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirlah makanan dan dari yajna munculah hujan dan yajna lahir dari pekerjaan”. Cakra yajna inilah hendaknya diputar secara harmonis dalam suatu kesatuan. Apabila salah satunya saja putus dunia ini tidak dapat bekerja. Bagaikan rantai makanan antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan Cakra yajna ini harus berputar agar roda kehidupan berjalan tanpa adanya benturan-benturan, maka dari itulah umat Hindu hendaknya menyadari keberadaannya secara histolistik selalu saling berhubungan dan saling membutuhkan di dalam usahanya memerankan peranannya sebagai manusia di dunia ini (Gita III.14).

Tujuan Beryajna………
Yajna yang dilakukan oleh umat Hindu memiliki tujuan yang utama, didalamnya terkandung nilai-nilai universal untuk memenuhi tujuan yang sesuai dengan doktrin ”Mokshartam jagadhitaya ca iti dharma” dan “catur purusa artha”. Umat Hindu yang melakukan yajna akan terbebaskan dari ikatan dosa. Gita bersabda: “orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari yajna mereka itu akan terlepas dari segala dosa”. Beryajna juga untuk membebaskan diri dari ikatan hukum karma. Gita mengatakan agar melakukan pekerjaan didasari oleh yajna tanpa mengikatkan diri, dengan tulus iklas mereka akan terbebas dari ikatan hukum karma (Gita III.9,13).

Disamping itu pula beryajna untuk mencapai kelepasan yang merupakan akhir dari tujuan agama Hindu yaitu Moksa. Jadi beryajna merupakan jalan untuk mencapai Brahman yang merupakan suatu tujuan yang amat mulia dengan membebaskan diri dari ikatan-ikatan dunia. Mereka yang memakan makanan suci dari sisa-sisa yajna akan mencapai Brahman (Gita IV. 31, 32)

Yang menjadi tujuan yajna memberikan peluang bagi umat Hindu untuk selalu berjuang membenahi jalan hidupnya dengan perbuatan yang baik dalam usaha menolong diri dari penderitaan atau sengsara.

Lakukanlah kewajibanmu janganlah hasil dari pekerjaan itu menjadi alasanmu, jangan membiarkan dirimu untuk tidak melaksanakan sesuatu pekerjaan apapun.
Bekerjalah tanpa mengikatkan diri pada hasilnya terlebih dahulu (rame ing gawe sepi ing pamrih). Tuhan pasti telah memperhitungkan apa yang telah kita perbuat maka dari itu berbenahlah karena lahir jadi manusia sangatlah utama.

Bentuk Yajna…………..
Adapun bentuk yajna dalam Bhagawadgita :
A. Drawaya Yajna adalah Yajna dengan sarana benda-benda material dan kekayaannya.
B. Tapa Yajna adalah Yajna dengan melaksanakan tapa atau latihan batin.
C. Yoga Yajna adalah Yajna dengan melaksanakan yoga
D. Swadhaya Yajna adalah Yajna dengan mempelajari ajaran suci
E. Jnana Yajna adalah dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan

Panca yajna dalam Bhagawadgita ini hendaknya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan, yajna dengan materi dijadikan media bagi yang melaksanakan tapa dan yoga untuk selalu memfokuskan pikirannya dan melatihnya secara terus menerus yang disertai tuntunan ajaran suci, pengetahuan dan kebijaksanaan. Sehingga yajna secara menyeluruh terangkai dalam suatu sistem untuk dilaksanakan dalam kehidupan beragama Hindu.

Bentuk yajna dalam Bhagawadgita memberikan gambaran yang jelas bahwa yajna memiliki makna yang komperensif integral dalam pelaksanaannya sehingga mampu merampung berbagai aspek kehidupan manusia tanpa adanya benturan-benturan yang mempersulit hidup manusia. Bentuk yajna dalam Bhagawadgita mengakomodasi sejauh mana tingkat kemampuan seseorang dalam usaha pencapaian-Nya dengan tetap yang menjadi pondasinya adalah keyakinan dan ketulusikhlasan. Bentuk yajna ini memberiksn kesempatan untuk mengaflikasikan berbagai tingkat kemampuan umat Hindu tanpa memandang rendah bentuk yang lainnya.

Sifat Yajna………
Sifat yajna tergantung pada manusia yang melaksanakannya, dimana manusia itu sendiri mempunyai tiga sifat yang disebut Triguna (Sattwam, Rajas dan Tamas). Sesungguhnya ketiga sifat itu selalu ada pada diri manusia yang sudah tentunya mempunyai intensitas berbeda. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari suatu kreaktivitas yajna ketiga sifat ini bergerak menyesuaikan pada situasi dan kondisi tertentu sesuai dengan aturan, bekerja secara sinergis, saling mendukung.

Dalam Bhagawadgita secara jelas telah mengklasifikasikan yajna menjadi tiga yaitu ; Sattwika, Rajasika dan Tamasika. Dalam kondisi ini riil di masyarakat pemahaman sifat yajna ini masih kurang. Adapun sifat yajna dalam Bhagawadgita XVII 11-13 :
  1. Sattwika yajna yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, tidak mengharapkan hasilnya, teguh, yakin dan percaya, sadar akan kewajiban beryajna.
  2. Rajasika yajna yaitu yajna yang dilaksanakan dengan mengharapkan hasilnya, memamerkan apa yang telah dimilikinya, penuh denga nafsu dan keinginan.
  3. Tamasika yajna yaitu yajna yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk sastra, tidak ada makanan yang dibagikan, tidak ada mantra, tidak ada syair yang dinyanyikan, tidak ada punia dan daksina yang diberikan, tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.

ARTI DAN FUNGSI SARANA UPAKARA



Arti dan Fungsi Sarana Upakara



Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan Jnyana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan cara seperti itulah Karma dan Jnyana Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.

Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau sarana. Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut ”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.

Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain:
- Pattram = daun-daunan,
- Puspam = bunga-bungaan,
- Phalam = buah-buahan,
- Toyam = air suci atau tirtha.
Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud “dipa dan dhÅ­pa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.



Arti dan Fungsi Bunga

Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita suci.

Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.

Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija. Canang, kewangen, bhasma dan bija ini adalah sarana persembahyangan yang berasal dari unsur bunga, daun, buah dan air. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tatwa Agama Hindu.

Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut antara lain yaitu :


1. Canang

Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah:

a. Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c. Bunga lambang keikhlasan
d. Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.

2. Kewangen

Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.

Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen tersebut adalah Kewangen lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai upacara Pancayadnya. Kewangen sebagai salah satu sarana penting untuk melengkapi banten pedagingan untuk mendasari suatu bangunan.

Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika dilangsungkan upacara memandikan mayat, kewangen diletakkan di setiap persendian orang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah kewangen, dimana fungsi kewangen disini adalah sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur alam) sendang fungsi Kawangen dalam upacara memandikan mayat sebagai pengurip-urip.

3. Bunga sebagai Lambang, antara lain
a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.



Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa

Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibbakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.

Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan guna.



Arti dan Fungsi Tirtha

Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu : Air untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu: tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan Tirtha dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija, dan bhasma yang disebut gandhaksta.

Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha.

Macam - macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip / penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai pemeliharaan

Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta 5, mantra 2 dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi air soma yang merupakan air suci. Mantra adalah Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab Mantra, karena tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra itu banyak macam dan ragamnya, ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau lima suku kata seperti: Om Ang Ah, Ang Ung Mang, Sang Bang Tang Ang Ing dan sebagainya. Mantra juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata yang demikian itu dianggap mengandung sakti, disebut ”Wijaksara”.

Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara disebut : Brahma. Nama ini kemudian digunakan untuk menyebutkan, Ia yang maha kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah satu manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa, Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.

Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama, sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak mantra, contoh dua buah mantra yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra ”Apsudewastawa” dapat diambil kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana persembahyangan yang berwujud bukan benda (non material) yang harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan semua sarana persembahyangan itu akan sia-sia, untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja.